Pahami UU Cipta Kerja Terbaru, Apa Saja yang Berubah?
Farijihan Putri
•
05 September 2025
•
2804
UU Cipta Kerja terbaru lagi rame banget dibahas, terutama setelah ada putusan MK yang bikin beberapa aturan kerja berubah. Buat Warga Bimbingan yang masih pemula di dunia HR, wajar kalau agak bingung harus mulai pahaminya dari mana.
Bayangin kalau kamu ngerti detail perubahan aturan soal upah, jam kerja, sampai PHK. Nggak cuma bikin lebih update, tapi juga bikin kamu lebih pede ngobrolin isu ketenagakerjaan bareng tim HR atau bahkan di interview kerja.
Nah biar makin siap, MinDi akan bahas poin-poin penting UU Cipta Kerja terbaru tahun 2024 secara singkat tapi gampang dipahami.
Kalau kamu pengen belajar lebih dalam soal bidang HR, bisa banget ikutan Bootcamp Human Resource dibimbing.id.
Baca Juga: Panduan Memilih Bootcamp Human Resource Terbaik
Apa Itu UU Cipta Kerja?
UU Cipta Kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja pertama kali disahkan DPR pada 5 Oktober 2020 lewat UU Nomor 11 Tahun 2020.
Namun, sejak awal prosesnya menuai banyak protes dari serikat pekerja dan buruh karena dianggap memberatkan kelas pekerja.
Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian menyatakan UU tersebut inkonstitusional bersyarat. Sebagai tindak lanjut, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2022 yang kemudian resmi disetujui DPR pada 21 Maret 2023 untuk menggantikan UU sebelumnya.
Polemik belum berhenti sampai di situ. Pada 31 Oktober 2024, MK kembali mengabulkan sebagian uji materi yang diajukan Partai Buruh dan sejumlah serikat pekerja, sehingga beberapa regulasi dalam UU Cipta Kerja kembali berubah.
Secara sederhana, UU Cipta Kerja adalah konsep omnibus law yang menyatukan banyak aturan ke dalam satu undang-undang baru, supaya lebih ringkas dan mengurangi tumpang tindih regulasi. Aturan ini juga menggantikan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Baca Juga: Apa Itu Human Centric dalam Rekrutmen Karyawan?
Poin Penting Putusan MK UU Cipta Kerja Terbaru 2024
Sumber: Freepik
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sejumlah gugatan yang diajukan oleh kelompok buruh terkait Undang-Undang Cipta Kerja pada Kamis, 31 Oktober 2024.
Keputusan ini lahir sebagai respons atas tuntutan yang diajukan oleh beberapa serikat buruh, termasuk FSPMI, KSPSI, KPBI, KSPI, dan Partai Buruh, serta beberapa pekerja individu.
Dengan putusan panjang yang mencapai 687 halaman (Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023), berikut adalah beberapa poin utama yang perlu diperhatikan.
1. UU Ketenagakerjaan Terpisah dari UU Cipta Kerja
MK menginstruksikan agar undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan disusun secara terpisah dari UU Cipta Kerja.
Hal ini dilakukan karena Mahkamah menilai bahwa ketentuan terkait ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja saat ini sulit dipahami oleh masyarakat umum, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.
Dengan pemisahan ini, diharapkan undang-undang ketenagakerjaan dapat lebih spesifik, jelas, dan berfokus pada perlindungan hak-hak pekerja.
2. Prioritas Tenaga Kerja Indonesia atas Tenaga Kerja Asing
MK membatalkan sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang dianggap multitafsir mengenai penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA).
Putusan tersebut menegaskan bahwa TKA hanya boleh dipekerjakan pada posisi tertentu, dalam jangka waktu terbatas, dan harus memiliki kompetensi yang sesuai. Selain itu, aturan ini juga harus memprioritaskan tenaga kerja lokal dalam hal pengisian posisi.
Ketentuan Lama:
- Pasal 42 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU 6/2023: Setiap Pemberi Kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib memiliki rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
- Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU 6/2023: Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
Ketentuan Baru:
- Pasal 42 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU 6/2023: Setiap Pemberi Kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib memiliki rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing yang disahkan oleh “menteri yang bertanggungjawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, in casu Menteri Tenaga Kerja”.
- Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU 6/2023: Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai “dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memperhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia”.
3. Batas Durasi Kontrak Kerja yang Lebih Jelas
MK memperjelas ketentuan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan menetapkan batas waktu maksimal kontrak selama lima tahun, termasuk perpanjangan.
Aturan ini diharapkan dapat memberikan kepastian dan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja kontrak.
Sebelumnya, UU Cipta Kerja memberikan fleksibilitas yang dikhawatirkan dapat memperpanjang ketidakpastian bagi karyawan.
Ketentuan Lama:
- Pasal 56 ayat (3) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran UU 6/2023: Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja.
- Pasal 57 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 13 Lampiran UU 6/2023: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
Ketentuan Baru:
- Pasal 56 ayat (3) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran UU 6/2023: Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu “dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan”.
- Pasal 57 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 13 Lampiran UU 6/2023: Perjanjian kerja waktu tertentu “harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin”.
4. Pembatasan Jenis Pekerjaan Outsourcing
Mahkamah meminta pemerintah untuk mengatur jenis dan bidang pekerjaan yang dapat dilakukan melalui outsourcing atau alih daya.
Dengan adanya batasan ini, MK berharap hanya jenis pekerjaan tertentu yang dapat dialihdayakan, sehingga dapat menghindari penyalahgunaan praktik outsourcing yang sering memicu konflik antara pekerja dan perusahaan.
Ketentuan Lama:
- Pasal 64 ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran UU 6/2023: Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ketentuan Baru:
- Pasal 64 ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran UU 6/2023: Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) “sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya”.
5. Opsi Libur Dua Hari Seminggu Kembali Berlaku
MK mengembalikan opsi untuk memberikan pekerja dua hari libur dalam seminggu, seperti yang diatur dalam undang-undang sebelumnya. Sebelum revisi UU Cipta Kerja, aturan tersebut hanya memberi pilihan libur satu hari per minggu bagi pekerja.
Ketentuan Lama:
- Pasal 79 ayat (2) huruf b UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU 6/2023: Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi: b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
- Pasal 79 ayat (5) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU 6/2023: Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Ketentuan Baru:
- Pasal 79 ayat (2) huruf b UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU 6/2023: Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi: b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu “atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”.
- Pasal 79 ayat (5) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU 6/2023: Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Perusahaan tertentu memberikan istirahat panjang yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. (Catatan: MK menghilangkan kata “dapat”.)
6. Upah Harus Mencakup Komponen Hidup Layak
MK menegaskan bahwa komponen hidup layak harus tetap menjadi bagian dari ketentuan pengupahan. Komponen ini meliputi kebutuhan dasar pekerja seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan.
Mahkamah menekankan ketentuan upah dan kompensasi menurut UU Omnibus Law Cipta Kerja harus mencerminkan penghidupan yang layak, yang juga harus mampu mencakup kebutuhan keluarga pekerja secara wajar.
Ketentuan Lama:
- Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023: Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Ketentuan Baru:
- Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023: Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua”.
Baca Juga: Apa itu Probation? Definisi, Dasar Hukum & Tips Melewatinya
7. Pengaktifan Kembali Dewan Pengupahan
Dewan pengupahan, yang sebelumnya dihapus dalam UU Cipta Kerja, dihidupkan kembali melalui putusan MK ini. Dewan pengupahan berperan dalam memberikan masukan terkait kebijakan upah.
Ketentuan Lama:
- Pasal 88 ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023: Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak Pekerja/Buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
- Pasal 98 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 39 Lampiran UU 6/2023: Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan.
Ketentuan Baru:
- Pasal 88 ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023: Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak Pekerja/Buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan”.
- Pasal 98 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 39 Lampiran UU 6/2023: Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan “yang berpartisipasi secara aktif”.
8. Skala Upah Proporsional
MK menginstruksikan bahwa struktur dan skala upah harus bersifat proporsional, dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti kontribusi tenaga kerja, golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
Struktur upah yang proporsional diharapkan dapat menciptakan keadilan bagi pekerja dan perusahaan, sehingga kepentingan keduanya tetap terpenuhi.
Ketentuan Lama:
- Pasal 92 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 33 Lampiran UU 6/2023: Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas.
Ketentuan Baru:
- Pasal 92 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 33 Lampiran UU 6/2023: Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas, “serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi”.
9. Upah Minimum Sektoral (UMS) Kembali Diberlakukan
Putusan MK ini juga mengembalikan ketentuan mengenai Upah Minimum Sektoral (UMS), yang sebelumnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.
UMS memungkinkan pekerja di sektor tertentu, terutama yang memiliki risiko atau tuntutan tinggi, untuk mendapatkan upah minimum yang berbeda.
Ketentuan Lama:
- Pasal 88 ayat (3) huruf b UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023: Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: b. struktur dan skala upah;
- Pasal 88C UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023: (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara. penetapan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
- Pasal 88D ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023: Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
- Pasal 88F UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023: Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).
Ketentuan Baru:
- Pasal 88 ayat (3) huruf b UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023: Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: b. struktur dan skala upah “yang proporsional”;
- Pasal 88C UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023: (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara. penetapan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah. “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota”.
- Pasal 88D ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023: Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. “Indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh”.
- Pasal 88F UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023: Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2). “Yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan tertentu’ mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
10. Peran Serikat Pekerja dalam Pengupahan
Putusan MK juga mengembalikan peran serikat pekerja dalam menentukan upah yang berada di atas minimum.
Sebelumnya, UU Cipta Kerja menghilangkan keterlibatan serikat pekerja dalam penetapan upah, yang menyebabkan ketidakseimbangan antara pekerja dan perusahaan dalam negosiasi.
Ketentuan Lama:
- Pasal 90A UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 31 Lampiran UU 6/2023: Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Ketentuan Baru:
- Pasal 90A UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 31 Lampiran UU 6/2023: Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh “atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Perusahaan”.
11. PHK Hanya Dapat Dilakukan Setelah Putusan Berkekuatan Hukum Tetap
MK menegaskan bahwa PHK hanya bisa dilakukan setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Dengan aturan ini, proses PHK harus didahului dengan perundingan antara karyawan dan perusahaan untuk mencapai kesepakatan yang adil.
Ketentuan Lama:
- Pasal 151 ayat (3) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU 6/2023: Dalam hal Pekerja/Buruh telah diberitahu dan menolak Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
- Pasal 151 ayat (4) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU 6/2023: Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Ketentuan Baru:
- Pasal 151 ayat (3) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU 6/2023: Dalam hal Pekerja/Buruh telah diberitahu dan menolak Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit “secara musyawarah untuk mufakat antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh”.
- Pasal 151 ayat (4) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU 6/2023: Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka Pemutusan Hubungan Kerja “hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap”.
12. Batas Bawah Penghargaan Masa Kerja (UPMK)
Putusan MK juga menetapkan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) dalam UU Cipta Kerja adalah batas minimum.
Hal ini memberikan jaminan bagi pekerja bahwa mereka akan menerima penghargaan yang layak atas masa kerja yang telah mereka jalani, sejalan dengan prinsip keadilan dalam hubungan kerja.
Ketentuan Lama:
- Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 47 Lampiran UU 6/2023: Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
- Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 47 Lampiran UU 6/2023: Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
Ketentuan Baru:
- Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 47 Lampiran UU 6/2023: Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) “paling sedikit”:
- Pasal 157A ayat (3) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 49 Lampiran UU 6/2023: Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sesuai tingkatannya, “sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI”.
Baca Juga: Aturan PHK 2025: Dasar Hukum, Alasan, Hak, hingga Prosedur
Sudah Paham UU Cipta Kerja? Yuk, Ikut Bootcamp HR!
Kalau Warga Bimbingan ingin benar-benar paham UU Cipta Kerja dan praktiknya dalam dunia HR, Bootcamp Human Resource dibimbing.id siap bantu.
Di bootcamp ini, kamu bakal belajar bareng mentor berpengalaman dengan silabus terlengkap, 20+ assignment & real case project untuk portfolio, gratis mengulang kelas, dan 12 minggu praktik magang di perusahaan nyata.
Ada juga 840+ hiring partner buat memudahkan penyaluran kerja dan 96% alumni sudah berhasil dapat kerja.
Kalau kamu penasaran, “Bagaimana cara mengimplementasikan UU Cipta Kerja dalam pengelolaan HR sehari-hari? atau Apa saja strategi terbaik untuk memastikan kepatuhan perusahaan terhadap regulasi ketenagakerjaan terbaru?”, konsultasi gratis di sini. dibimbing.id siap #BimbingSampeJadi HR professional.
Referensi
Tags
